Jalan calon presiden (capres) Indonesia yang kelak menggantikan Presiden Joko Widodo tidak lah mudah. Dari sisi ekonomi hingga sosial, masih banyak pekerjaan rumah dan tantangan yang harus dikerjakan.
Dua ekonom senior Indonesia Faisal Basri dan Rizal Ramli pun menguak berbagai pekerjaan rumah hingga masalah apa saja yang harus diselesaikan oleh calon presiden masa depan. Keduanya bahkan menjabarkan kesalahan di era Presiden Jokowi yang tidak boleh terulang lagi.
Ekonomi senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri mengungkapkan masalah yang penting dan belum jua terselesaikan adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stagnan di kisaran 5%. Realisasi ini jauh dari target untuk bisa menjadi negara maju pada 100 tahun kemerdekaan RI yakni pada 2045 dengan rata-rata sebesar 6-7% per tahunnya.
Faisal menilai kondisi ini disebabkan lapangan pekerjaan yang semakin tidak bermutu di Indonesia.
“Angka pengangguran turun, ada penciptaan lapangan kerja, tapi makin tidak bermutu,” kata Faisal dalam Program Your Money Your Vote CNBC Indonesia, dikutip Selasa (9/5/2023).
Dia melihat tidak bermutunya lapangan pekerjaan di Tanah Air, sehingga tidak mampu mendorong laju pertumbuhan ekonomi Indonesia, tercermin dari semakin membengkaknya data pekerja informal di Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga Februari 2023, angkanya sudah mencapai 60,12% sedangkan pekerja formal hanya 39,88%. Meningkat drastis dari catatan Februari 2020 yang pekerja informal hanya sebesar 56,64% sedangkan pekerja formal 43,36%.
Besarnya jumlah pekerja informal ini membuat pendapatan masyarakatnya tidak pasti dan tidak berkualitas, tidak adanya jaminan pekerjaan, hingga hak-hak pekerjanya tidak ada yang bisa menjamin, seperti misalnya para pekerja di sektor ojek daring. Alhasil, kegiatan dan barang yang diproduksi bagi perekonomian tidak bernilai tambah.
“Makin tidak bermutu karena yang meningkat penyerapan di sektor informal. Pekerja informal kita naik terus, data Februari sudah 60% lebih itu kan mereka tidak dapat gaji teratur, lembur, macam-macam, kualitas rendah artinya mereka rentan,” ungkapnya.
Industrialisasi Harga Mati
Selanjutnya, kondisi miris Indonesia tampak pada sektor industri atau manufaktur. Faisal melihat Indonesia telah mengalami deindustrialisasi.
Sumbangan sektor industri atau manufaktur terhadap perekonomian atau produk domestik bruto terus tergerus. Berdasarkan data BPS andil sektor industri terhadap perekonomian hingga kuartal I 2023 tinggal 18,57% padahal pada awal 2020 masih di kisaran 19,87%.
“Jadi tinggal 18% padahal industri manufaktur penyumbang sepertiga penerimaan pajak, jadi penerimaan pajak turun, pengeluaran naik, defisit naik, dan arus utang naik,” tegas Faisal.
Sementara itu, mantan menteri koordinator perekonomian Rizal Ramli mengungkapkan 3 komponen utama dalam menggenjot industrialisasi. Pertama addalah teknologi. Dia menilai Indonesia seharusnya bisa mencontek Jepang dan Korea Selatan. Jepang dulu mencontek teknologi dari AS, sementara Korea belajar dari Jepang. Ini adalah bentuk dari reverse technology atau reverse engineering.
Kedua, dia melihat biaya industri di Indonesia mahal. Hal ini termasuk biaya pekerja atau labor cost. Beban ini masih ditambah oleh birokrasi yang rumit.
“Makanya Indonesia tidak pernah kompetitif karena biaya birokrasinya 15-20% dari total cost,” tegasnya. Dia yakin jika pemerintah mau menghapus KKN di industri, Indonesia akan lebih kompetitif dari Jepang dan Korea Selatan.
“Yang ada terbalik kalau kita dengar pidato pak Presiden kan bagus kita harus sederhanakan birkoraksi supaya tidak banyak aturan. Kemudian, dia bikin UU omnibus law tebalnya 1000 halaman. Semakin tebal, semakin pengusaha kecil enggak mampu penuhi syarat-syarat itu. Akhirnya nyogok lagi,” papar Rizal Ramli.
Ongkos Pembangunan dari Utang
Dalam kesempatan ini, Rizal Ramli juga menyoroti program Presiden Jokowi yang banyak mengandalkan utang. Dia berharap pola yang sama tidak dijalankan oleh capres-capres baru.
“Capres baru harusnya lebih kreatif,” ujarnya. Dia mencontohkan food estate yang menghabiskan puluhan triliun, padahal ini bukan satu-satunya cara mendorong ketahanan pangan. Rizal mengungkapkan ketahanan pangan hanya bisa dijalankan dengan prinsip ‘petani untung’.
Jika petani untung, tentunya produksi pangan bisa dinaikkan. Dia mengusulkan pemerintah mempertimbangkan penghapusan kredit macet petani dan meningkatkan insentif bagi mereka. Hal ini agar tanah mereka tidak diambil dan keuntungan petani tidak tergerus harga pupuk.
“Supaya untungnya gede rasio harga per pupuk biasanya 1,5, kita niakin 1,75:1. Satu untuk pupuk, 0,75 buat petani. Petani semangat, dia untung, dia naikin produksi,” ujarnya.
Rizal menuturkan bahwa langkah ini adalah contoh bedanya membangun dengan strategi dan kebijakan, dibanding membangun dengan utang. “Kita bisa membuat Indonesia maju tumbuh di atas 12% seperti china dan jepang dengan andalakan stategi dan policy tentu syaratnya korupsi dan KKN dihapuskan,” paparnya.