Bak tanggul jebol. Itulah yang menggambarkan emosi rakyat memasuki tahun 1998. Kekesalan terhadap Presiden Soeharto dan kroni-kroninya yang sudah lama dipendam akhirnya tersalurkan berkat kesulitan ekonomi.
Rakyat di banyak kota turun ke jalan secara besar-besaran menyalurkan protesnya terhadap situasi ekonomi Indonesia. Perlahan, protes itu menuju sebuah gejolak besar yang tidak pernah terbayangkan bakal terjadi di era otoritarianisme Orde Baru. Di Medan dan Jakarta beberapa pusat pertokoan sudah menjadi objek penjarahan oleh oknum tidak bertanggungjawab. Kerusuhan tersebut perlahan meluas menjadi sentimen rasial. Orang etnis Tionghoa menjadi korban.
Di tengah situasi tersebut sejarah mencatat bahwa pada 9 Mei 1998, tepat hari 25 tahun lalu, Soeharto malah melakukan kunjungan kerja ke Mesir. Seperti diwartakan Kompas (12 Mei 1998), pertemuan di Mesir dalam rangka pertemuan tahunan G15 yang diselenggarakan Presiden Mesir Hosni Mubarak pada 11-15 Mei 1998. Salah satu agendanya membahas krisis moneter Asia.
Meski begitu, keputusan Soeharto tersebut sangat disayangkan sebab dilakukan di saat peningkatan gejolak demonstrasi. Di tanah air, seperti dituliskan Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2009), situasi makin tidak karuan.
Selama Soeharto di Mesir tercatat terjadi peristiwa terbesar yang memantik amarah rakyat, yakni penembakan empat mahasiswa Trisakti saat unjuk rasa pada 12 Mei 1998. Peristiwa itu membuat kerusuhan semakin menjadi-jadi. Kerusuhan, penjarahan, dan sentimen rasial menjalar ke seluruh negeri.
Penasehat militer presiden Letjen TNI Sintong Panjaitan dalam Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009) mencatat ada 4.939 bangunan rusak dibakar yang kerugiannya mencapai Rp 2,5 triliun. Ini belum menghitung ribuan mobil dan motor yang dirusak dan dibakar, serta korban jiwa.
Melihat situasi sulit itu, Soeharto menyampaikan kalimat “Jika saya tidak lagi dipercaya, saya akan menjadi pandita dan mendekatkan diri kepada Tuhan.” Indonesianis Ben Anderson dalam “Exit Soeharto” (2008) menyebut ucapan itu mengindikasikan bahwa Soeharto akan mengakhiri kekuasannya dengan segera secara terhomat.
Berkat kerusuhan itu pula, Soeharto memangkas waktu kunjungannya sehari. Pada 14 Mei 1998, Soeharto resmi pulang dan sampai Jakarta di esok hari. Peter Kasenda dalam Hari-Hari Terakhir Orde Baru (2015) menyebut kepulangan Soeharto mengharuskannya bertindak cepat mengatur situasi negara.
Namun, tindakan cepat itu pada akhirnya gagal dilakukan. Amarah rakyat semakin meledak. Para loyalis Soeharto pun mulai meninggalkannya.