Jauh sebelum ChatGPT menjadi populer seperti sekarang, teknologi kecerdasan buatan atau AI sudah lama dikembangkan. Salah satu orang yang paling lama mendedikasikan diri terhadap pengembangan teknologi AI adalah Geoffrey Hinton.
Tak heran jika Hinton disebut-sebut sebagai ‘Bapak AI’ atau ‘Godfather of AI’. Ia baru saja mengundurkan diri dari Google setelah lebih dari 1 dekade mengembangkan produk AI di raksasa mesin pencari tersebut.
Sebelum bekerja di Google, ia mulai mendalami neural networks yang merupakan cikal bakal AI dan deep learning pada 1972, sebagai mahasiswa di University of Edinburgh. Pada 1980, ia adalah profesor di Carnegie Mellon University.
Namun, ia menukar duit dari AS dan Pentagon untuk penelitian AI ke Kanada. Ia mengatakan sangat menghindari penggunaan AI untuk senjata.
Selanjutnya, pada 2012, Hinton dan 2 mahasiswanya menciptakan neural networks yang bisa mengidentifikasi ribuan foto dan mempelajari pola objek-objek di dalamnya. Salah satu mahasiswanya adalah Ilya Sutskever yang menjabat Chief Scientist OpenAI sejak 2018. OpenAI adalah perusahaan yang mengembangkan ChatGPT.
Google kemudian membeli perusahaan rintisan Hinton senilai US$ 44 juta. Sejak saat itu, Hinton menghabiskan lebih dari 1 dekade untuk menyempurnakan produk AI Google hingga akhirnya memutuskan berhenti.
Bapak AI Mundur dari Google, Buka-bukaan Soal Bahaya AI
Kini, setelah resmi tak berstatus karyawan Google, Hinton pun buka-bukaan soal bahaya pengembangan teknologi AI untuk masa depan manusia.
Sejauh ini, banyak yang sudah khawatir bahwa AI bisa membuat manusia nganggur. Bahkan, IBM baru-baru ini mengaku akan mengganti sekitar 7.800 profesi di perusahaannya dengan robot AI.
Namun, Hinton mengatakan bahaya AI lebih dari itu. AI bisa mengaburkan pandangan manusia terhadap kebenaran dan kebohongan.
“Masyarakat umum akan sulit membedakan apa yang benar dan yang tidak benar. Foto, video, dan teks yang dihasilkan oleh sisten generative AI membanjiri internet sebagai sumber informasi manusia saat ini,” ia menjelaskan, dikutip dariĀ BGR.
Menurut dia, bahaya AI dipicu oleh kompetisi para raksasa teknologi yang ingin cepat-cepat menghadirkan inovasi AI terbaru.
Padahal, untuk tiap inovasi, hal terpenting yang harus diperhatikan adalah risiko dan cara menanggulanginya. Di tengah obsesi untuk mendominasi dan meraup keuntungan sebesar-besarnya, agaknya raksasa teknologi lebih fokus untuk bergerak cepat.
OpenAI, Google, Microsoft, kini menjadi 3 perusahaan yang paling kencang mengembangkan AI. Hinton tidak mengapresiasinya, meski ketika masih berstatus karyawan Google ia tak bisa berkata apa-apa.
Lebih lanjut, ia juga mengkhawatirkan kemungkinan AI akan jadi jauh lebih pintar dari manusia. Jika tidak dibarengi dengan regulasi dan pengawasan yang ketat, hal ini bisa membahayakan potensi manusia di masa depan.
“AI bisa lebih pintar dari manusia dalam waktu lebih cepat. Banyak orang berpikir masih butuh 30 hingga 50 tahun lagi untuk hal tersebut jadi nyata. Saya pun dulu berpikir seperti itu. Namun, tentu saja sekarang saya berubah pikiran,” kata dia.
Hinton menegaskan bahwa dirinya keluar gari Google bukan untuk mengkritisi perusahaan tersebut. Ia mengatakan tujuannya mengundurkan diri agar bisa berbicara lepas soal bahaya AI tanpa berpikir bagaimana hal itu bisa berdampak pada Google.