Nikkei Berhasil Cetak Rekor Lagi, Bursa Asia Lain Dibuka Merah
Mayoritas bursa Asia-Pasifik dibuka melemah pada perdagangan Rabu (17/1/2024), jelang rilis data pertumbuhan ekonomi China pada kuartal IV-2023.
Per pukul 08:30 WIB, indeks Hang Seng Hong Kong merosot 0,97%, Shanghai Composite China melemah 0,36%, Straits Times Singapura terkoreksi 0,67%, ASX 200 Australia turun 0,19%, dan KOSPI Korea Selatan ambles 1,32%.
Kecuali, indeks Nikkei 225 Jepang yang berhasil rebound dan melonjak 1,63%. Nikkei kembali mencetak rekor tertinggi sepanjang masanya di 36.198,102.
Dari China, data pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV-2023 akan dirilis pada hari ini. Konsensus pasar dalamTrading https://judol-terpercaya.store/ Economicsmemperkirakan produk domestik bruto (PDB) Negeri Tirai Bambu pada kuartal IV-2023 diprediksi tumbuh menjadi 5,3% secara tahunan (year-on-year/yoy), dari sebelumnya sebesar 4,9% pada kuartal III-2023.
Namun, secara basis kuartalan(quarter-to-quarter/qtq), PDB China pada kuartal IV-2023 diprediksi turun menjadi 1,2%, dari sebelumnya yang tumbuh 1,3% (qtq).
China sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia pun mengalami dampak dari kondisi ketidakpastian global.
Dana Moneter International (IMF) memang masih mempertahankan proyeksi ekonomi China di angka 5,2% untuk 2023 dan 4,5% untuk 2024. Namun, IMFmenggarisbawahi bahwa setelah pelonggaran besar-besaran sejak akhir tahun lalu dengan mengurangi pembatasan terkait Covid-19 terjadi, potensi untuk tumbuh tinggi pun menjadi hilang.
Lebih lanjut, tidak seperti negara lainnya yang tertekan inflasi, China justru masih mengalami deflasi. Pada Desember 2023 atau akhir 2023,consumer price index(CPI) juga masih mengalami deflasi di angka 0,3% yoy, dari yang sebelumnya deflasi 0,5% yoy.
Kendati mengalami perbaikan, namun CPI China masih relatif menunjukkan bahwa ekonominya cukup lambat. Ini menjadi alarm peringatan berlanjutnya pelemahan permintaan. Salah satu alasannya adalah konsumen menunda pembelian mereka dengan harapan harga yang lebih rendah.
Di tambah, krisis properti di China yang belum berakhir turut membebani perekonomian China. Setelah kasus Evergrande dan Kaisa Group Holdings, kini krisis properti bertambah yakni Zhongzhi Enterprise Group.
Krisis properti dan masih lesunya perekonomian China membuat Bank Dunia (World Bank) pun memproyeksikan perekonomian China tumbuh sebesar 4,5% pada 2024, melambat dari 2023 yang diperkirakan tumbuh sebesar 5,2%.
Perlambatan ekonomi China yang merupakan penyokong utama pertumbuhan Asia akhirnya membuat pemerintah mempertimbangkan untuk kembali meluncurkan stimulus jumbo melalui obligasi spesial “ultra long” sebesar satu triliun yuan atau US$ 139 miliar yang setara Rp2.166 triliun (Asumsi kurs Rp15.585/US$).
Di lain sisi, bursa Asia-Pasik cenderung mengikuti pergerakan bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street kemarin yang juga ditutup melemah setelah libur memperingati Hari Martin Luther King Jr.
IndeksDow Jones Index (DJI) ditutup melemah 0,62%, S&P 500 terkoreksi 0,37%, dan Nasdaq Composite turun 0,19%.
Bursa Wall Street yang bertengger di zona merah salah satu faktornya akibat pelaku pasar yang sedang dalam mode wait and see menanti pidato dari sejumlah pejabat bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed).
Sebagai diketahui, berbagai pidato dari pejabat the Fed akan memberikan gambaran bagaimana kebijakan yang kemungkinan besar akan diambil pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada akhir bulan ini.
Apalagi untuk FOMC kali ini menjadi yang pertama kali di 2024 dengan kondisi inflasi yang kembali memanas pada akhir tahun lalu dan pasar tenaga kerja masih ketat akibat pencatatan jumlah pekerjaan di luar pertanian tidak terduga naik ke 216.000 pekerjaan. .
Oleh karena itu, banyak dari pelaku pasar mulai memperkirakan kemungkinan the Fed tidak akan menurunkan suku bunga sebesar yang diharapkan sebelumnya.
Selain itu, pasar juga masih mencerna berbagai rilis laporan keuangan untuk periode full year 2023 dari sektor keuangan yang jadi salah satu sektor dengan kinerja buruk. Pada hari ini Morgan Stanley mencatatkan laba bersih turun lebih dari 30% secara tahunan dari US$ 2,24 miliar menjadi US$ 1,52 miliar.