Berdasarkan data Kementerian PPN/Bappenas, Indonesia sudah menjadi bagian dari negara berpendapatan menengah atau middle income sejak 1982-1983. Hingga saat ini, Indonesia diketahui belum juga lulus dari status tersebut.
Padahal negara yang sempat terpuruk pada krisis finansial global, seperti Korea Selatan sudah melajut pesat dan sukses menjadi negara maju alias high income country.
Pada 1997-1998, Indonesia malah mencicipi status low income country atau negara berpenghasilan rendah/rentan.
Indonesia baru kembali masuk ke negara berpendapatan menengah ke bawah/ lower middle income) pada 2002. Indonesia sempat masuk ke kelas negara berpendapatan menengah ke atas (upper middle income) pada 2019-2020. Namun, perubahan hitungan Bank Dunia pada 2021 membuat Indonesia turun lagi menjadi negara lower middle income.
Baru pada 2022, Indonesia kembali masuk ke upper middle income. Namun, status ini tidak bisa dibanggakan karena jebakan middle income nyaris tidak membuat Indonesia kemana-mana. Daya saing Indonesia pun redup, jika dibandingkan negara ASEAN lain, seperti Thailand dan Vietnam yang moncer di sisi industri.
Ekonom Senior Faisal Basri mengungkapkan bahwa kegagalan keluar dari jebakan middle income trap dikarenakan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang gagal mencapai 6-7%.
Menurutnya, selama periode Presiden Joko Widodo, pertumbuhan ekonomi hanya berkisar 5%. Padahal, targetnya 7% pada periode pertama dan 6% pada periode kedua.
“Oke tumbuh, angka pengangguran turun ada penciptaan lapangan kerja tapi makin tidak bermutu karena yang meningkat penyerapan di sektor informal,” jelas Faisal, dalam program Your Money Your Vote di CNBC Indonesia, dikutip Selasa (9/5/2023).
Menurutnya, tingginya pekerja di sektor informal adalah masalah besar karena jauh dari kontrol pemerintah. Baik meliputi gaji, lembur serta hak-hak lain yang seharusnya diterima.
“Pekerja informal kita naik terus. Data Februari sudah 60% lebih itu kan mereka tidak dapat gaji teratur, lembur, macam-macam kualitas rendah artinya mereka rentan,” tegasnya.
Adapun, pertumbuhan pekerja informal ini dipicu oleh deindustrialisasi. Sumbangan sektor industri atau manufaktur terhadap perekonomian atau produk domestik bruto terus tergerus. Berdasarkan data BPS andil sektor industri terhadap perekonomian hingga kuartal I 2023 tinggal 18,57% padahal pada awal 2020 masih di kisaran 19,87%.
“Jadi tinggal 18% padahal industri manufaktur penyumbang sepertiga penerimaan pajak, jadi penerimaan pajak turun, pengeluaran naik, defisit naik, dan arus utang naik,” tegas Faisal.
Industri, tambah Faisal, akan menjadi optimal mendorong perekonomian berkelanjutan ketika diiringi peningkatan tekonologi.
“Dari tahun 1970 sampai 2020 pertumbuhan teknologi itu, istilah kasarnya total factor productivity pertumbuhannya minus lebih banyak berbasis otot dan keringat ketimbang otak,” ujarnya.
“Oleh karena itu riset dan inovasi harus jalan. Tapi bukan substansi risetnya malah organisasi BRIN-nya yang diacak jadi makin banyak salah arah. Oleh karena itu perlu transformasi,” ungkap Faisal.
Dalam kesempatan yang sama, ekonom senior yang juga mantan menteri koordinator perekonomian Rizal Ramli mengungkapkan biaya industri di Indonesia mahal. Hal ini termasuk biaya pekerja atau labor cost. Beban ini masih ditambah oleh birokrasi yang rumit.
“Makanya Indonesia tidak pernah kompetitif karena biaya birokrasinya 15-20% dari total cost,” tegasnya. Dia yakin jika pemerintah mau menghapus KKN di industri, Indonesia akan lebih kompetitif dari Jepang dan Korea Selatan.
Persoalan birokrasi dari sisi aturan itu, kata Rizal, sebetulnya sudah mendapat perhatian dari Presiden Joko Widodo, namun ia dianggap salah langkah dengan cara menerbitkan UU Omnibus Law Cipta Kerja. Sebab, secara komponen malah membebani pengusaha kecil.
“Tebalnya 1000 halaman. Semakin tebal semakin pengusaha kecil enggak mampu penuhi syarat-syaratnya itu, akhirnya nyogok lagi. Nanti kita batalin deh UU Omnibus Law,” tegas dia.
Selain itu, dia melihat penyebab utama lemahnya geliat industri manufaktur di Indonesia pertama disebabkan tidak adanya teknologi buatan anak bangsa yang mampu mendorong kinerja produksi dan kualitasnya.
“Padahal teknologi itu kita bisa contek, namanya reverse engineering. Semua begitu dulu, Jepang dulu contek dari Amerika, Korea nyontek dari Jepang,” kata Rizal.
Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) / Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengungkapkan bahwa Indonesia telah terjebak dalam middle income trap selama 29 tahun.
“Kemajuan ekonomi kita cukup baik, bagus, tapi apa boleh buat ekonomi kita selama 29 tahun masih di middle income trap,” tegas Suharso dalam acara Festival Ekonomi dan Keuangan Digital Indonesia di Jakarta, dikutip Selasa (9/5/2023).
Oleh karena itu, dia menambahkan pekerja rumah besar saat ini adalah lepas dari jebakan itu.
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo pun saat ini telah menargetkan Indonesia jadi negara maju pada 2045 dan lepas dari jebakan itu dengan pertumbuhan rata-rata 7-8%.
Untuk mencapai pertumbuhan tinggi, Suharso mengatakan Indonesia harus mendorong digitalisasi besar-besaran dan mendorong pengembangan ekonomi hijau.