Indonesia pernah mengalami krisis yang parah atau yang dikenal dengan krisis moneter (krismon) pada 1998. Tidak hanya Indonesia, beberapa negara tetangga juga mengalaminya.
Salah satu sosok yang disebut sebagai biang keladi krisis tersebut adalah miliader Yahudi bernama George Soros. Ia adalah pendiri dan pemimpin perusahaan pengelola investasi global, Quantum Group of Funds.
Quantum menjadi salah satu hedge fund dengan kinerja impresif, memberikan rata-rata return 30% per tahun. Melansir Business Insider, jika berinvestasi di Quantum US$ 1.000 pada 1969, nilainya akan menjadi US$ 4 juga pada 2000.
Maka, tidak salah jika Soros dinobatkan sebagai salah satu manajer hedge fund paling sukses sepanjang masa.
Return besar yang didapat Quantum juga memicu efek yang sangat masif, yakni krisis 1998 yang melanda Asia. Kala itu Soros awalnya melakukan spekulasi terhadap mata uang baht Thailand.
Soros yang sudah mengendus akan terjadi masalah terhadap baht yang kala itu belum menganut sistem kurs mengambang. Thailand kala itu masih menerapkan currency peg di mana nilai tukar bath terhadap dolar AS ditentukan.
Pria kelahiran 12 Agustus 1930 ini kemudian mengambil posisi melawan baht senilai US$ 1 miliar. Nilai tukar dolar AS yang terus menguat sejak pertengahan 1990an membuat otoritas Thailand tak mampu lagi mematok nilai tukar baht, akhirnya diterapkan sistem kurs mengambang pada Juli 1997.
Kurs bath pun terus merosot hingga 60% tiga bulan berselang. Soros pun mendapat cuan jumbo.
Jebloknya baht kemudian merembet ke negara Asia Tenggara lainnya, termasuk rupiah yang pada akhirnya terjadi krisis moneter 1998.
Beberapa tahun sebelum aksi tersebut, Soros juga membobol bank sentral Inggris (Bank of England/BoE), kejadian yang hingga saat ini dikenal dengan Black Wednesday,
Soros lagi-lagi jeli melihat masalah yang dihadapi Inggris. Melansir The Balance, kejadian tersebut bermula dari Exchange Rate Mechanism (ERM) Eropa yang dibuat pada Maret 1979. ERM bertujuan membatasi nilai tukar dan menstabilkan kebijakan moneter di seluruh Eropa, sebelum dirilisnya mata uang tunggal euro.
Inggris yang sebelumnya enggan masuk ERM akhirnya memutuskan bergabung pada Oktober 1990. Saat itu 1 poundsterling dipatok sebesar 2,95 deutche mark (mata uang Jerman), dan pergerakannya dibatasi sebesar 6% baik itu menguat atau pun melemah.
Masalahnya, Inggris saat itu sedang mengalami inflasi yang tinggi. Pada umumnya, inflasi yang tinggi akan membuat mata uang melemah.
Soros melihat hal tersebut dan mengambil posisi melawan poundsterling dengan nilai US$ 10 miliar. Ia pun aktif berbicara di publik terkait keyakinannya nilai tukar poundsterling tidak akan bisa dipertahankan dan akan merosot tajam.
Para spekulan pun melakukan mengikuti Soros, memaksa bank sentral Inggris menaikkan suku bunga menjadi 15% guna meredam aksi jual dan menarik aliran modal.
Sayangnya, langkah tersebut tidak dipercaya oleh para spekulan yang justru terus mengambil posisi melawan poundsterling. Pertemuan darurat pun dilakukan dan memutuskan Inggris keluar dari ERM pada Rabu 16 September 1992. Kurs poundsterling pun langsung jeblok hingga dikenal dengan Black Wednesday.
Bank sentral Inggris saat itu mengalami kerugian hingga 3,3 miliar poundsterling, dan Soros mendapatkan untung sebesar US$ 1 miliar.
Soros pun dikenal sebagai orang yang membobol bank sentral Inggris.