Krisis Baht 1997 Jadi ‘Kiamat’ Ekonomi di Indonesia

FILE PHOTO: Anti-government protesters hold Thai baht banknotes ready to donate to their leader marching in downtown Bangkok February 7, 2014.   REUTERS/Damir Sagolj/File Photo

Thailand. Rabu, 2 Januari 1997. Situasi ekonomi tidak seperti biasa. Hari itu Baht Thailand berfluktuasi dan melemah hingga 20%. Penyebabnya karena Bank Sentral Thailand secara resmi mengubah kebijakan nilai tukarnya dari semula mengambang terkendali (managed floating) menjadi mengambang bebas (free floating). Artinya, kurs sepenuhnya digerakkan oleh mekanisme pasar.

Perubahan ini bukan tanpa alasan. Beberapa bulan sebelumnya terjadi peristiwa yang jadi awal mula ‘lonceng kematian’ finansial bagi negara Asia.

Saat itu, awal 1997, perusahaan pengelola investasi Quantum Group of Funds pimpinan George Soros melakukan spekulasi dengan meminjam Baht Thailand dalam jumlah besar. Spekulasi ini menguatkan mata uang dollar AS dan menggerus transaksi dengan Baht Thailand. Bank Sentral bereaksi cepat, tetapi tidak membuahkan hasil. Hingga akhirnya, kebijakan free floating dikeluarkan yang membuat Baht tunduk pada Dollar AS.

Semakin perkasanya Dollar AS membuat mata uang Asia dan dinamika pasar modal lainnya melemah. Malaysia, Korea Selatan, Singapura, Hong Kong, Filipina, dan Indonesia terdampak paling hebat.

Beberapa hari setelah Thailand mengubah kebijakan, kurs rupiah terhadap dollar AS ikut hancur. Akibatnya, sejarawan M.C Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2009) mencatat  biasanya rupiah berada di kisaran Rp 2.500 per US$, maka setelahnya menurun menjadi 9% menjadi Rp 4.000 per US$. Hingga puncaknya sebesar Rp 17.000 per US$, setelah Bank Indonesia menerapkan kebijakan free floating terhadap kurs rupiah.

“Bursa saham Jakarta hancur. Hampir semua perusahaan modern di Indonesia bangkrut, tabungan kelas menengah lenyap, dan jutaan pekerja diberhentikan dari pekerjaan mereka,” tulis Ricklefs.

Saat itu terjadi rakyat mulai menjerit karena harga kebutuhan hidup dasar mulai meroket naik. Mereka alhasil mulai turun gunung ke jalanan bersama para mahasiswa. Pers yang sebelumnya membebek pada pemerintah mulai berani menerangkan situasi sesungguhnya kepada publik. Perlahan situasi yang semula krisis ekonomi berubah menjadi krisis politik.

Peter Kasenda dalam Hari-Hari Terakhir Orde Baru (2015) menyebut, permasalahan semakin besar ketika tuntutan rakyat sudah meningkat, tetapi pemerintah malah sombong dan kurang sadar terhadap realitas. Parahnya, tulis aktivis Sofjan Wanandi dalam autobiografinya Sofjan Wanandi dan Tujuh Presiden (2018), di saat menurunnya kepercayaan itu putra-putri Soeharto malah terlibat makin dalam di ekonomi negara untuk melindungi bisnisnya sendiri.

Melonjaknya harga bahan pokok, otoritarinisme Soeharto, dan korupsi merajalela di sistem keuangan, membuat rakyat muak. Bak tanggul jebol, rakyat semakin marah dan krisis tidak terhindarkan. Bantuan IMF yang disetujui pemerintah pada Januari 1998 nyatanya gagal total.

Tuntutan rakyat itu nyatanya tidak didengar oleh Soeharto. Dia malah menjadi presiden lagi pada 11 Maret 1998 dengan menggandeng B.J Habibie, dan memilih nama-nama kroni dan keluarganya di dalam kabinet. Sebut saja Siti Hardiyanti Rukmana dan pengusaha Bob Hasan.

Pada akhirnya, kabinet baru Soeharto tidak membuahkan hasil. Krisis ekonomi disusul krisis politik membuatnya tertinggal. Barulah semua mulai mereda ketika Presiden Soeharto yang berkuasa selama 30 tahun resmi mengundurkan diri pada 21 Mei 1998. Meski begitu, krisis ekonomi sudah telanjur membawa Indonesia ke jurang keterpurukan lebih dalam yang butuh waktu lama untuk bangkit.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*