Investor Wait and See, Bursa Asia Dibuka Kurang Bertenaga

People walk past an electronic stock board showing Japan's Nikkei 225 index at a securities firm in Tokyo Wednesday, July 10, 2019. Asian shares were mostly higher Wednesday in cautious trading ahead of closely watched congressional testimony by the U.S. Federal Reserve chairman. (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Mayoritas bursa Asia-Pasifik dibuka melemah pada perdagangan Senin (9/5/2023), di mana investor menanti rilis data neraca perdagangan China pada hari ini dan data inflasi Amerika Serikat (AS) besok.

Per pukul 08:30 WIB, indeks Hang Seng Hong Kong melemah 0,37%, Straits Times Singapura terkoreksi 0,2%, ASX 200 Australia terpangkas 0,27%, dan KOSPI Korea Selatan terdepresiasi 0,46%.

Sedangkan untuk indeks Nikkei 225 Jepang menguat 0,75% dan Shanghai Composite China terapresiasi 0,28%.

Dari China, surplus neraca perdagangan pada periode April 2023 diprediksi sedikit berkurang menjadi US$ 74,3 miliar, dari sebelumnya sebesar US$ 88,2 miliar pada Maret lalu, menurut surveiĀ Reuters.

Sedangkan ekspor China diperkirakan tumbuh 8% (year-on-year/yoy) pada April, setelah tumbuh 14,8% pada Maret lalu. Sementara impor diperkirakan tidak berubah setelah turun 1,4% (yoy) di bulan sebelumnya.

“Data perdagangan China yang lebih lemah pada April kemungkinan akan mencerminkan ‘sisa musiman’ setelah Tahun Baru Imlek tahun ini,” kata ekonom di Goldman Sachs, dikutip dariĀ CNBC International.

Bursa Asia-Pasifik yang secara mayoritas melemah terjadi di tengah cenderung mendatarnya bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street kemarin, karena pelaku pasar menanti rilis data inflasi di AS.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melemah 0,17%. Namun untuk indeks S&P 500 naik tipis 0,05% dan Nasdaq Composite menguat 0,18%.

Pelaku pasar menanti rilis data inflasi di pekan ini, pasca data tenaga kerja yang masih kuat. Dua data tersebut menjadi penentu kebijakan suku bunga di AS.

Data tenaga kerja AS yang kuat memunculkan ekspektasi bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) masih akan melanjutkan periode kenaikan suku bunganya.

Jumat malam lalu, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sepanjang April perekonomian AS mampu menyerap 253.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payrolls/NFP). Angka tersebut jauh lebih tinggi dari estimasi Wall Street sebanyak 180.000 orang.

Tingkat pengangguran turun menjadi 3,4% dari bulan sebelumnya 3,5%. Padahal, Wall Street memproyeksikan naik menjadi 3,6%. Tingkat pengangguran 3,4% ini menyamai rekor terendah sejak 1969.

Kemudian rata-rata upah per jam naik 0,5% (month-to-month/mtm), lebih tinggi dari ekspektasi 0,3% sekaligus tertinggi dalam satu tahun terakhir. Secara tahunan (yoy), rata-rata upah tersebut naik 4,4% juga lebih tinggi dari ekspektasi 4,2%.

The Fed tidak secara gamblang menyebut akan menghancurkan pasar tenaga kerja, tetapi memang itu diperlukan untuk segera menurunkan inflasi. Ketika pasar tenaga kerja melemah maka daya beli masyarakat akan menurun, dan inflasi juga akan segera menyusul.

Nyatanya, data NFP sudah lebih tinggi dari ekspektasi dalam 13 bulan beruntun, yang menjadi rekor berdasarkan catatan Bespoke.

Pelaku pasar kini melihat ada probabilitas sebesar 8% The Fed akan kembali menaikkan suku bunga pada Juni mendatang. Padahal sebelum rilis data tenaga kerja, probabilitas tersebut nyaris nol, berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group.

Semakin tinggi suku bunga, maka risiko resesi yang semakin dalam menghantui AS. Dampaknya bisa meluas, sebab AS merupakan negara dengan perekonomian terbesar di dunia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*